Bagaimana Sikap Orang Mukmin Terhadap Fakir Miskin Adalah

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ ومَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. An-Nisa, 4: 36)

لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah, 2: 177)

فَـَٔاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. (QS. Ar-Rum, 30: 38)

يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَآ أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah, 2: 215)

Tidak membiarkannya terlantar

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢) وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (QS. Al-Ma’un, 107: 1-3)

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (٤٣) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (٤٤)

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin. (QS. Al-Muddatstsir, 74: 42-44)

Tidak menghardik mereka

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ (٩)وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ (١٠) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (١١)

Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik(nya). Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur) (QS. Ad-Dhuha, 93: 9-11)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari Abdullah ibn Amr: Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Islam manakah yang paling baik? Beliau menjawab: Kamu memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal. (HR. Bukhari)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

أَيُّمَا مُسْلِمٍ كَسَا مُسْلِمًا ثَوْبًا عَلَى عُرْىٍ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ خُضْرِ الْجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ أَطْعَمَ مُسْلِمًا عَلَى جُوعٍ أَطْعَمَهُ اللَّهُ مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللَّهُ مِنَ الرَّحِيقِ الْمَخْتُومِ

Muslim mana saja yang memberi pakaian orang Islam lain yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surga. Muslim mana saja yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan di surga. Lalu muslim mana saja yang memberi minum orang yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman dari Al-Rahiq Al-Makhtum. (HR. Abu Dawud)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « السَّاعِى عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ – وَأَحْسِبُهُ قَالَ ، يَشُكُّ الْقَعْنَبِىُّ – كَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ ، وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Al-Qa’nabi–yaitu gurunya Imam Bukhari dan Muslim–berkata, aku sangka itu seperti orang yang shalat malam yang tidak pernah merasakan lelah, dan yang berpuasa yang tidak pernah berhenti berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits dari  Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ « اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَأَمِتْنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا يَا عَائِشَةُ لاَ تَرُدِّى الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ أَحِبِّى الْمَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama dengan orang-orang miskin pada hari kiamat”. ‘Aisyah berkata, “Mengapa –wahai Rasulullah- engkau meminta demikian?” “Orang-orang miskin itu masuk ke dalam surga 40 tahun sebelum orang-orang kaya. Wahai ‘Aisyah, janganlah engkau menolak orang miskin walau dengan sebelah kurma. Wahai ‘Aisyah, cintailah orang miskin dan dekatlah dengan mereka karena Allah akan dekat dengan-Mu pada hari kiamat”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Tirmidzi)

Akhlak Terhadap Fakir Dan Miskin

Pelajari apa tujuan zakat fitrah, manfaat, ketentuan, dan tata cara pelaksanaannya bagi umat Islam. Pahami makna mendalam di balik ibadah wajib ini.

Pelajari tujuan zakat sebagai ibadah sosial dalam Islam. Temukan makna, manfaat, dan hikmah menunaikan zakat bagi pemberi dan penerima.

Pembahasan mengenai golongan orang yang termasuk fakir atau miskin ini terkait dengan banyak hal. Di antaranya masalah zakat, fidyah, dan kafarah. Lalu siapa sajakah yang tergolong orang miskin atau fakir?

Definisi miskin telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

“Orang miskin bukan hanya yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain” (HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039).

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis di atas adalah orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

إنَّما المِسْكِينُ الذي يَتَعَفَّفُ، واقْرَؤُوا إنْ شِئْتُمْ يَعْنِي قَوْلَهُ: {لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إلْحَافًا}

“Sesungguhnya orang miskin adalah yang menjaga kehormatannya. Bacalah firman Allah Ta’ala, [mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa] (QS. Al-Baqarah: 273)” (HR. Bukhari no. 4539).

ولَكنَّ المسْكينَ المتعفِّفُ وفي زيادةٍ ليسَ لَهُ ما يستغني بِهِ الَّذي لا يسألُ ولا يُعلمُ بحاجتِهِ فيتصدَّقَ عليْهِ

“Orang miskin yang muta’affif (menjaga kehormatan) adalah yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak meminta-minta, tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya” (HR. Abu Daud no. 1632, didha’ifkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Daud).

Namun ‘ala kulli haal, dari hadis ini, para ulama menyimpulkan kaidah umum tentang patokan miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Disebutkan dalam Mu’jam Al-Wasith,

المِسْكِينُ : من ليس عنده ما يكفي عياله، أَو الفقير

“Miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Disebut juga dengan fakir”.

Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah juga disebutkan,

الذي لا يجد قوته، وقيل: هو الذي لا يملك قوت يومه والفقير من لا يملك قوت سنته، لكن على كل حال حكمهما واحد

“Orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian ulama mengatakan: orang yang tidak dapat memenuhui kebutuhan pokoknya untuk sehari. Sedangkan fakir adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya untuk setahun. Namun ‘ala kulli haal, fakir dan miskin dianggap sama dalam hukum”.

Contohnya, orang yang kebutuhan pokoknya sehari adalah 100 ribu rupiah, namun penghasilannya hanya 75 ribu rupiah. Maka orang ini tergolong miskin.

Dan cara mengetahui apakah seseorang itu termasuk miskin atau tidak boleh dengan dua cara:

Pertama, diketahui secara pasti bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya.

Kedua, berdasarkan ghalabatuz zhan (sangkaan kuat) bahwa penghasilan orang tersebut kurang dari kebutuhannya.

Al-‘Allamah Al-Buhuti rahimahullah menjelaskan,

ولا يجوز دفع الزكاة إلا لمن يعلم أنه من أهلها و يظنه من أهلها؛ لأنه لا يبرأ بالدفع إلى من ليس من أهلها، فاحتاج إلى العلم به لتحصل البراءة، والظن يقوم مقام العلم؛ لتعذر أو عسر الوصول إليه

“Dan tidak boleh memberikan zakat kecuali kepada orang yang diketahui pasti bahwa ia termasuk yang berhak menerimanya, atau disangka kuat ia termasuk yang berhak menerimanya. Maka di sini dibutuhkan pengetahuan yang pasti sehingga muzakki bisa dikatakan lepas dari tanggungan zakat. Atau sangkaan kuat yang kadarnya selevel dengan ilmu, jika memang ada uzur dan kesulitan untuk memastikan” (Kasyful Qina’, 2: 339).

Baca Juga:  Piring dan Gelas Emas, Ingat Orang-Orang Miskin di Sekitar Anda

Perbedaan antara fakir dan miskin

Ulama khilaf tentang perbedaan antara fakir dan miskin, dan manakah yang lebih membutuhkan antara keduanya?

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أن المراد بالفقير: المحتاج المتعفف الذي لا يسأل، والمسكين: المحتاج المتذلل الذي يسأل

“Yang dimaksud fakir adalah orang yang membutuhkan dan ia menjaga kehormatannya dengan tidak minta-minta. Sedangkan miskin adalah orang yang membutuhkan yang menghinakan dirinya dengan minta-minta” (Tafsir Al-Qurthubi, 14: 308).

Demikian juga Al-Khathabi rahimahullah, beliau menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, dengan mengatakan,

في الحديث دليل على أن المسكين – في الظاهر عندهم والمتعارف لديهم- هو السائل الطواف

“Hadis ini menunjukkan bahwa miskin adalah orang yang suka berkeliling minta-minta (berdasarkan apa yang dipahami oleh para salaf)” (Ma’alimus Sunan, 2: 232).

Sebagian ulama mengatakan bahwa fakir itu lebih membutuhkan daripada miskin. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ini adalah pendapat Asy Syafi’i dan mayoritas ulama hadits dan fikih” (Fathul Bari, 4: 107). Mereka berdalil salah satunya dengan ayat,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Menunjukkan bahwa orang miskin masih memiliki harta yang berharga (semisal perahu) untuk mencari penghidupan.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Abu Hanifah. Di antara dalilnya, firman Allah ta’ala:

أَوْ مِسْكِيناً ذا مَتْرَبَةٍ

“… atau orang miskin yang fakir” (QS. Al Balad: 16).

Dalam ayat ini Allah sifati kemiskinan dengan matrabah, yaitu kefakiran. Berarti ada orang miskin yang fakir dan ada orang miskin yang tidak fakir. Sehingga fakir lebih parah dari miskin.

Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 144) disebutkan, “Fakir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhan pokok dirinya dan kebutuhan pokok keluarganya, berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ia tidak mendapati apa-apa. Atau ia mendapat kurang dari 50% kebutuhan pokoknya. Maka orang seperti ini hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh.

Miskin adalah orang yang mendapati penghasilan yang mencukupi 50% kebutuhan pokoknya atau lebih (namun tidak sampai genap 100%). Seperti orang yang penghasilannya 100 riyal, namun ia butuh 200 riyal. Maka orang seperti ini juga hendaknya diberi zakat untuk mencukupi kebutuhannya selama 1 tahun penuh”.

Ringkasnya, khilaf ulama dalam masalah ini menjadi 3 pendapat:

Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa fakir itu lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa miskin itu lebih parah dan lebih membutuhkan daripada fakir.

Pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa fakir dan miskin itu sama.

Yang rajih, fakir dan miskin itu jika disebutkan bersendirian, maka ia sama kondisinya. Namun jika keduanya disebutkan bergandengan, maka fakir lebih parah dan lebih membutuhkan daripada miskin.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Perbedaan antara fakir dan miskin, jika keduanya disebutkan bersamaan, maka fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Karena kata ‘fakir’ diambil dari kata al-faqr yang artinya, “tidak ada apa-apa”. Orang Arab biasa berkata, “hadza ardhun faqrun”, maksudnya, “ini tanah yang kosong tidak ada tumbuhan”. Adapun jika disebutkan bersendirian, maka maknanya sama ” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 3: 206).

Baik fakir maupun miskin, keduanya sama-sama berhak diberi zakat, fidyah, dan juga kafarah. Karena mereka berdua sama secara hukum. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, mengatakan,

المسكين هو الفقير الذي لا يجد كمال الكفاية، والفقير أشد حاجة منه، وكلاهما من أصناف أهل الزكاة

“Miskin adalah orang fakir yang penghasilannya tidak sampai kadar mencukupi. Dan fakir itu lebih butuh daripada miskin. Namun keduanya termasuk golongan penerima zakat” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 14: 265).

Baca Juga: Setan Menakut-Nakuti dengan Kemiskinan

Orang yang punya aset harta apakah disebut miskin?

Jika ada orang yang mengaku miskin, namun ia memiliki rumah, atau memiliki smart phone, atau memiliki mobil, dan semisalnya, apakah ia tetap dianggap miskin dan boleh menerima zakat dan fidyah?

Allah Ta’ala menyebutkan perkataan Nabi Khidhir ‘alaihissalam,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahf: 79).

Dalam ayat ini disebutkan orang-orang miskin mereka memiliki perahu. Padahal kita tahu bahwa perahu adalah kendaraan yang harganya tidak murah. Namun, mereka gunakan perahu ini untuk mencari penghasilan. Maka status mereka tetap sebagai orang miskin.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan,

وجملة ذلك أنه إذا ملك مالا تتم به كفايته من غير الأثمان، فان كان مما لا تجب فيه الزكاة كالعقار ونحوه لم يكن ذلك مانعا من أخذها. نص عليه أحمد فقال في رواية محمد بن الحكم: إذا كان له عقار يستغله أو ضيعة تساوي عشرة آلاف أو أقل أو أكثر لا تقيمه يأخذ من الزكاة، وهذا قول الثوري والنخعي والشافعي وأصحاب الرأي

“Kesimpulannya, jika ia memiliki harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan bukan berupa uang, jika harta tersebut termasuk harta yang tidak wajib dizakati, seperti al ‘aqar (aset pasif) atau semisalnya, maka ini tidak menghalangi dia untuk menerima zakat. Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dalam riwayat dari Muhammad bin Al-Hakam, Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Jika ‘aqar itu terus ia manfaatkan atau ia memiliki tanah yang disewakan seharga 10.000 riyal atau kurang dari itu atau lebih dari itu, maka ia boleh menerima zakat”. Ini juga pendapat Ats-Tsauri, An-Nakha’i, Asy-Syafi’i dan Ash-habur Ra’yi (Hanafiyah)” (Asy-Syarhul Kabir, 2: 687).

Dari penjelasan beliau, bisa kita simpulkan beberapa poin:

Pertama, jika orang miskin memiliki aset, dan aset tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghasilannya tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia tetap dikatakan orang miskin dan boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki rumah dan tanah, namun rumah dan tanah tersebut ia gunakan untuk tempat tinggalnya. Maka ia boleh menerima zakat.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah juga pernah ditanya, “Apakah boleh saya memberi zakat mal kepada seorang yang sudah menikah, ia memiliki anak perempuan yang masih kecil, dan ia memiliki mobil taksi. Mobil taksi tersebut ia gunakan untuk mencari penghidupan rata-rata sebesar 700 junaih. Dan terkadang di bulan yang lain ia tidak gunakan mobil tersebut karena ia juga bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji 150 junaih”.

Beliau rahimahullah menjawab,

إذا كنت تعلمين أنه فقير، وأنه عرض له حاجة وفقر فلا بأس، وإلا فالذي عنده أسباب تقوم بحاله لا يعطى الزكاة

“Jika Anda tahu pasti dia adalah orang yang fakir, dan ia memang orang yang membutuhkan, maka tidak mengapa memberi zakat kepadanya. Jika tidak demikian, dan orang tersebut punya sebab-sebab lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia tidak diberi zakat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15: 326).

Kedua, jika orang miskin memiliki aset yang sifatnya sekunder atau tersier, bukan untuk kebutuhan primernya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat. Seperti orang yang memiliki mobil namun bukan untuk mencari penghasilan, orang yang memiliki rumah lain selain rumah tinggalnya, orang yang memiliki tanah selain yang ia tinggali, dan semisalnya.

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah ditanya tentang orang yang punya banyak hutang, namun ia baru membeli rumah baru, apakah ia boleh diberi zakat sebagai gharim (orang yang berhutang)? Beliau menjawab,

إذا كان اشترى البيت الجديد للتجارة أو لمزيد الدنيا وعنده بيت يكفيه فلا يستحق الزكاة، بل يبيع بيته الجديد ويوفي ما عليه من الدين، أو يلتمس ذلك من جهات أخرى؛ لأنه ليس فقيراً

“Jika orang tersebut membeli rumah yang baru untuk usaha atau untuk menambah perbendaharaan dunia dia, sedangkan ia sudah memiliki rumah lain yang mencukupinya (untuk tempat tinggal), maka ia tidak berhak menerima zakat. Bahkan seharusnya ia menjual rumah barunya tersebut dan melunasi hutangnya. Atau mencari uang dengan cara lainnya. Karena ia bukan orang fakir” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 15: 330).

Ketiga, jika orang miskin memiliki aset yang wajib dizakati, seperti emas dan perak, barang dagangan yang nilainya besar, dan semisalnya, maka ia tidak dikatakan miskin dan tidak boleh menerima zakat.

Maka jelaslah bahwa orang mengaku miskin, namun ia memiliki aset harta itu tidak bisa dipukul rata statusnya. Ada yang tetap berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima zakat.

Baca Juga:  10 Sebab Senantiasa Merasa Miskin Dan Kurang Harta

Jika yang diberi zakat ternyata orang yang berkecukupan

Ketika seseorang sudah membayarkan zakatnya kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya memastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang layak menerima zakat, kemudian jika setelah itu baru diketahui ternyata si penerima zakat tersebut adalah orang berada dan bukan orang miskin. Bagaimana status zakatnya?

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وذهب بعض أهل العلم : إلى أنه إذا دفعها إلى من يظن أنه أهل بعد التحري ، فبان أنه غير أهل فإنها تجزئه ؛ حتى في غير مسألة الغني ؛ أي: عموما ؛ لأنه اتقى الله ما استطاع لقوله تعالى: ( لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) البقرة/ 286 ، والعبرة في العبادات بما في ظن المكلف بخلاف المعاملات فالعبرة بما في نفس الأمر، ويصعب أن نقول له : إن زكاتك لم تقبل مع أنه اجتهد، والمجتهد إن أخطأ فله أجر، وإن أصاب فله أجران

وهذا القول أقرب إلى الصواب أنه إذا دفع إلى من يظنه أهلا مع الاجتهاد والتحري فتبين أنه غير أهل فزكاته مجزئة

“Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan ia berhak. Kemudian jika setelah dibayarkan, baru diketahui fakta bahwa ia orang yang tidak berhak menerima zakat, maka zakatnya tetap sah. Dan kaidah ini berlaku juga untuk masalah-masalah lain secara umum. Karena orang yang membayar zakat tadi telah berusaha bertakwa kepada Allah Ta’ala semaksimal kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. Al-Baqarah: 286). Dan yang dianggap dalam ibadah adalah keadaan yang diketahui oleh mukallaf. Berbeda dengan urusan muamalah, yang dianggap adalah fakta senyatanya. Sehingga sulit untuk mengatakan “zakat Anda tidak sah”. Padahal ia telah berijtihad. Dan orang yang berijtihad itu, jika keliru, maka dia mendapatkan satu pahala, dan jika benar, ia mendapatkan dua pahala.

Ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Yaitu bahwa jika seseorang menyerahkan zakat kepada orang yang ia sangka berhak menerimanya, setelah berupaya untuk memastikan, kemudian ternyata si penerima tidak layak, maka zakatnya tetap sah” (Syarhul Mumthi‘, 6: 264).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.

2. mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi

kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto Reza Suryodipuro mengatakan bahwa sikap netral adalah netral terhadap situasi yang terjadi pada suatu negara.

“Bersikap netral bukanlah menjadi netral terhadap satu pihak atau pihak lainnya, melainkan netral terhadap situasi yang dialami (oleh negara tersebut),” kata Sidharto dalam acara ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (ASEAN IIDC) 2023 di Jakarta, Senin.

Menurut Sidharto, banyak negara termasuk negara anggota ASEAN akan memilih untuk bersikap netral mengingat munculnya multipolaritas dinamis.

“Banyak negara, tidak terkecuali negara ASEAN, akan memilih untuk bersikap netral meski mereka tidak harus menentukannya,” kata Sidharto.

Dia melanjutkan, dasar moral untuk netralitas tersebut adalah bagaimana menghindari kejahatan terbesar dari semuanya, yaitu perang.

“Tentang bagaimana menghindari kejahatan terbesar dari semuanya, yaitu perang, dan saya pikir ini adalah dasar moral di mana netralitas kita perjuangkan,” ujar Dirjen Kerjasama ASEAN tersebut.

Sidharto juga mengatakan, dalam moralitas, seseorang tidak melihat politik sebagai sesuatu yang jahat atau malaikat, melainkan tentang melakukan hal yang benar.

Sidharto R. Suryodipuro hadir sebagai panelis sesi diskusi ASEAN IIDC 2023 tentang “Melestarikan dan memperkuat tatanan internasional berbasis aturan yang dibangun di atas etika universal dan nilai-nilai kemanusiaan.”

Panelis lain yang hadir dalam sesi diskusi tersebut adalah Penasehat Persaudaraan Kemanusiaan untuk Presiden Timor-Leste Martinho G. da Silva Gusmao dan Ketua Yayasan Chisty asal India Syekh Syed Salman Chisty.

ASEAN IIDC 2023 yang berlangsung pada 7-8 Agustus 2023 dihadiri oleh tokoh lintas agama dari kawasan ASEAN dan merupakan bagian dari penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.Baca juga: Laos terima tongkat estafet dialog ASEAN antaragamaBaca juga: Kemlu: ASEAN punya tantangan untuk menjaga kesatuan dan sentralitasBaca juga: Forum ASEAN IIDC 2023 hasilkan Deklarasi Jakarta

Pewarta: Cindy Frishanti OctaviaEditor: Atman Ahdiat Copyright © ANTARA 2023

Sejatinya Rasulullah Saw lebih mengkhawatirkan umatnya bergelimangan kekayaan daripada kemiskinan, sampai-sampai beliau menyatakan: ”Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan akan menimpamu, namun yang aku takuti ketika dunia dihamparkan kepadamu.”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Namun demikian, beliau juga memahami bila kefakiran dapatlah menyebabkan kekufuran. Oleh karena itu beliau berlindung dari kefakiran dalam doanya: ”Ya Allah saya berlindung kepadamu dari kekafiran dan kemiskinan.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Karena kepekaan beliau kepada krisis kefakiran dan dampaknya pada kelemahan, hati beliau bergerak kepada orang-orang fakir. Meskipun beliau sendiri hidup sebagai bagian dari mereka. Aisyah berkata: “Keluarga Muhammad Saw tidak pernah kenyang dengan makanan lebih dari tiga hari hingga Beliau Saw berpulang ke Rahmatullah.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban]

Kepada kaum fakir miskin Rasulullah berusaha untuk memberi apa yang beliau punyai. Bila beliau tidak punya sesuatu, beliau tetap berusaha untuk memberi solusi atas permasalahan yang menimpa walaupun harus meminta kepada para shahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir tanpa pertolonganpun.

Abu Hurairah bercerita, “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, ‘Saya dalam kesulitan.’ Rasulullah menyuruhnya untuk menemui istri-istri beliau. Sang istri berkata, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.’ Beliau menyuruh untuk menemui istri beliau yang lain dan jawabannya tetap sama. Seluruh istri beliau menjawab dengan jawaban yang sama, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.’

Walaupun beliau berada dalam kesusahan dan sangat membutuhkan namun beliau selamanya tidak pernah berhenti melakukannya.

Sahal bin Sa’ad bercerita, “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah dengan sebuah selimut yang sudah ditenun. Beliau bertanya, ‘Tahukah kamu selimut apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Iya, ini adalah jenis selimut syamlah.’ Rasulullah Saw bersabda, ‘Iya benar.’ Perempuan ini berkata, ‘Aku menenunnya untuk engkau pakai, wahai Rasulullah.’ Rasulullah mengambilnya seakan beliau memerlukannya. Beliau keluar kepada kami dan menjadikan burdah itu sebagai sarungnya. Seorang laki-laki memujinya dan berkata, ‘Berikanlah kepadaku, alangkah bagusnya!’ Orang-orang berkata, ‘Engkau tidak boleh begitu. Burdah itu dipakai oleh Nabi dan beliau membutuhkannya. Engkau malah memintanya dan engkau tahu bahwa beliau tidak menolak permintaan.’ Laki-laki ini berkata, ‘Demi Allah, saya tidak memintanya untuk saya pakai. Saya memintanya semata-mata agar ia bisa menjadi kain kafan saya’.” “Dan akhirnya kain itu dijadikan sabagai kafannya,” sambung Sahal. (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad)

Anas bin Malik menuturkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar datang meminta-minta kepada Nabi. Beliau bersabda, “Apakah di rumahmu ada sesuatu?, Ada wahai Rasulullah,” jawabnya, ”Saya punya alas pelana yang saya gunakan dan satu lagi saya hamparkan.”

“Coba bawa ke sini”, sabda Rasulullah. Laki-laki ini kemudian membawa dua barang tersebut kepada Rasulullah. Rasullah Saw mengambilnya dan bersabda, “Siapa yang mau membeli ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya mau mengambilnya dengan harga satu dirham.” Beliau bersabda lagi, “Adakah yang mau mengambilnya lebih dari satu dirham. Dengan dua atau tiga dirham begitu.” Maka berkatalah seorang laki-laki yang lain, “Saya mengambilnya dengan dua dirham.” Beliau memberikan barang tersebut kepadanya lalu mengambil uang dua dirham tadi dan menyerahkannya kepada orang Anshar ini. Beliau Saw bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham dan berikan kepada keluargamu. Sementara satu dirham sisanya belikan kapak dan bawa ke sini.” Sejurus kemudian orang Anshar ini datang kepada Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah membuatkan gagang kapak tersebut dan bersabda, “Pergilah. Carilah kayu bakar dan jual. Aku tidak ingin melihatmu lima belas hari ke depan.”

Maka pergilah orang ini mencari kayu bakar dan menjualnya. Kemudian kembali kepada Rasulullah dan telah memperoleh sepuluh dirham. Sebagiannya dibelikan baju dan sebagian lainnya dibelikan makanan. Rasulullah bersabda kepadanya: “Ini lebih baik bagimu daripada nanti pada hari kiamat akan ada tanda di wajahmu akibat meminta-minta. Sesungguhnya meminta-minta itu tidak baik kecuali kepada tiga orang: orang yang sangat fakir, orang yang banyak utang, atau orang yang memiliki tanggungan membayar diyat (denda sebagai ganti qishash).” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah)

Jelaslah kasih sayang Rasulullah Saw kepada orang fakir adalah kasih sayang yang bermanfaat dan mendorong kepada kebaikan. Tujuannya adalah untuk membahagiakan mereka dengan kebahagiaan yang sebenarnya, tanpa ada kepalsuan. Kasih sayang yang tidak sekadar mencukupi mereka semata, tapi juga mengajari mereka, mengangkat kepercayaan diri dan membawa mereka sukses dunia-akhirat. Satu kesatuan yang menakjubkan. Hal ini tidak akan kita dapati di dunia ini melainkan pada seorang Nabi. Wallahu a’lam bissawab.

(SR/Raghib As-Sirjani/Islamstory)

Salah satu tugas negara adalah memelihara kesejahteraan rakyat dengan membangun sistem yang men-generate keadilan sosial dan menjauhkan rakyat dari kemiskinan. Jika negara lalai membangun sistem yang mensejahterakan seluruh rakyat, niscaya segala program bantuan buat rakyat miskin hanya akan menempatkan negara sebagai pusat kedermawanan.

Fondasi regulasi (legal fondation) dalam bentuk undang-undang, seperti Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Penanganan Fakir Miskin, Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Wakaf, dan lainnya tidak terlepas dari tujuan untuk merealisasikan tugas negara dalam mengelola masalah kesejahteraan yang begitu kompleks.

Kemiskinan dapat digambarkan sebagai bentuk ketidak-adilan sosial dan anomali dari tujuan pembangunan masyarakat madani. Tokoh pejuang pers nasional almarhum Mochtar Lubis menyampaikan kritik sosial yang layak direnungkan;

“Bila Anda tetap saja tidak mendapat penghasilan yang cukup untuk bisa hidup layak sebagai manusia, betapapun kerasnya Anda bekerja dan ingin bekerja, itu adalah ketidakadilan sosial. Bila anak-anak Anda tak dapat bersekolah, atau anak-anak itu tak dapat disekolahkan karena alasan keuangan, itu ketidakadilan sosial. Bila Anda harus tinggal di daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat sebagai pemukiman manusia, itu adalah ketidakadilan sosial. Bila Anda sakit dan tidak punya dana untuk membayar dokter, obat dan rekening rumah sakit, itu ketidakadilan sosial. Bila hanya segelintir kaum elite menikmati semua kekuasaan dan semua kemakmuran dan semua kesejahteraan hidup, itu juga ketidakadilan. Bila seorang anak lapar menangis di kegelapan malam, itu adalah tangisan menuntut keadilan. ” (Mochtar Lubis Wartawan Jihad, penyunting Atmakusumah, 1992)

Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal seperti tercermin pada budaya gotong-royong dan tolong menolong yang pada dasarnya dapat menjadi katup pengaman terhadap bahaya kemiskinan. Sebagai contoh, kearifan lokal di Minangkabau mengajarkan, “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul ringan sama dijinjing) dan “Kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan” (kabar baik berhimbauan, kabar buruk berhamburan). Saya kira hampir semua suku dan etnik di Nusantara memiliki kearifan lokal yang secara eksplisit dan implisit menegaskan keberpihakan terhadap orang-orang yang dalam kesusahan sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan.

Dalam kenyataan, kenapa orang miskin mengalami kelaparan, anak-anak menderita gizi buruk, anak keluarga miskin bunuh diri karena orang tuanya tidak mampu bayar uang sekolah, seperti terjadi di Jakarta dan di tempat lainnya. Di manakah negara dan kearifan lokal?

Wilayah administrasi negara dibagi habis sampai ke pemerintah desa/kelurahan atau nama lain. Setiap desa/kelurahan atau yang setingkat terbagi menjadi jorong, kampung, atau di perkotaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Oleh sebab itu tanggungjawab untuk memelihara dan melindungi kesejahteraan rakyat harus berjalan di semua lingkup kewenangan pemerintahan. Motto perjuangan almarhum Said Tuhuleley, tokoh pemberdayaan masyarakat PP Muhammadiyah patut menjadi renungan kita semua dalam upaya memberdayakan masyarakat kecil di manapun, almarhum menyatakan: “Selama rakyat menderita, tidak ada kata istirahat.”

Semua unsur dalam pemerintahan sampai strata paling bawah harus memiliki kepekaan dalam melihat persoalan kemiskinan. Gamawan Fauzi sewaktu menjabat Menteri Dalam Negeri mengingatkan para pejabat di daerah, jangan mengutamakan anggaran untuk kepentingan mereka sendiri, seperti untuk pembangunan rumah pejabat yang mewah, pengadaan mobil mahal, kantor megah dan lainnya yang tidak pantas. Prioritas anggaran harus untuk masyarakat. Sejalan dengan imbauan, pejabat di pusat tentu juga harus menjadi contoh yang baik.

Dalam kaitan ini peran fasilitatif dan mediatif aparatur pemerintah harus dioptimalkan untuk mempercepatan langkah mengatasi kemiskinan. Manajemen pembangunan, konsistensi kebijakan dan keteladanan merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Manajemen pemerintahan harus digerakkan oleh kepemimpinan yang transformatif dan mentalitas aparatur yang bisa membuat rakyat percaya kepada sistem, bukan menunggu keajaiban dalam siklus lima tahun.

Peran kepemimpinan formal di pemerintahan dan peran masyarakat merupakan dua elemen pokok dalam penanggulangan kemiskinan. Semenjak empat dasawarsa lalu di ibukota negara dan di semua daerah sudah ada lembaga pengelola zakat yang menjalankan tugas dan fungsinya membantu orang-orang miskin, yaitu BAZNAS (dahulu BAZIS) dan lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) yang diprakarsai masyarakat.

Pembentukan lembaga pengelola zakat adalah bagian integral dari sistem kesejahteraan yang difasilitasi oleh negara. Lembaga pengelola zakat didirikan untuk memberikan pelayanan kepada kaum miskin dan menyelesaikan masalah semua orang. Untuk itu BAZNAS dan LAZ harus “familiar” dengan kenyataan hidup orang miskin. Visi lembaga zakat untuk mengubah mustahik menjadi muzaki sungguh tidak mudah, tetapi minimal bisa membuat mustahik menjadi mandiri sehingga terbebas dari fakir dan miskin. Karena itu, lembaga zakat harus benar-benar menerapkan manajemen Islami agar berkah.

Di sekitar isu kemiskinan sebagai persoalan serius bangsa, masih ingatkah pembaca tahun 2013 lalu seorang bocah putus sekolah bernama Tasripin (12 th) yang menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya tiba-tiba menjadi berita nasional? Simpati dan bantuan spontan pada waktu itu berdatangan bahkan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengetahui kasus tasripin melalui twitter. Tasripin setiap hari bekerja di sawah agar adik-adiknya bisa makan. Satinah, ibu mereka, meninggal dunia dua tahun silam di usia 37 tahun akibat terkena longsoran batu saat menambang pasir di dekat rumahnya. Kuswito, ayahnya, mencari nafkah di luar kota. Tasripin dan adik-adiknya hidup sebatang kara dan hanya berteman tetangga yang kerap memberi mereka makanan. Hal yang mengesankan, sore hari ia masih sempat mengajar adik-adiknya membaca Al Quran dan mengajak shalat di mushalla depan rumahnya. Tasripin memperoleh hadiah uang dari Presiden, Menteri Agama, dan mendapat simpati luar biasa dari pejabat pusat dan daerah. Rumah tempat tinggal Tasripin di Banyumas, Jawa Tengah direnovasi oleh Kodim dan Korem yang bertindak cepat memberi bantuan. Cerita dan kisah Tasripin telah berlalu dan mungkin telah terlupakan karena tertutup oleh isu-isu baru.

Tasripin hanyalah potret “gunung es” kemiskinan absolut dan kepincangan sosial di negara kita yang berdasarkan Pancasila. Di pelosok tanah air masih banyak anak-anak keluarga miskin yang bernasib sama atau mungkin lebih pahit hidupnya daripada Tasripin yang beruntung karena diekspos oleh media.

Para pemimpin dan elite di pusat dan di daerah-daerah tidak seharusnya mengalami “rabun dekat” dengan realita kemiskinan, atau menutup-nutupi fakta tentang kemiskinan di daerahnya. Kemiskinan dan kepincangan sosial harus diatasi dengan pendekatan regulatif dan kebijakan, bukan dengan pendekatan yang bersifat karikatif. Pemimpin yang bijaksana tentu tidak mau menjadikan rakyatnya bermental pengemis. Pemimpin yang bijaksana tentu menyadari bahwa negara wajib membangun sistem yang menghasilkan pemerataan kesejahteraan, menjamin keamanan serta menegakkan hukum dan keadilan. Di sinilah perbedaan antara tindakan negara dan tindakan masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Wallahu a’lam bisshawab.